Selasa, 19 April 2011

MDGs, Ambisius atau Realistis?

Peringatan Erna Witoelar, Duta Besar PBB untuk Millennium Development Goals di kawasan Asia Pasifik, bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam pencapaian MDGs (18/4/2007), perlu diartikan sebagai "lampu kuning".


Pertama, karena upaya mewujudkan Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 kini sudah setengah jalan. Kedua, akibat kemunduran itu, Indonesia sudah dilewati negara lain, seperti Vietnam.

MDGs merupakan penjabaran resolusi Majelis Umum Nomor 55/2 "Millennium Declaration" yang disepakati 8 September 2000 oleh para pemimpin dunia, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid dari Indonesia..


MDGs mencerminkan isu-isu yang menjadi prioritas program pembangunan nasional. Di antara isu-isu prioritas itu adalah mengurangi 50 persen angka kemiskinan dan kelaparan, mengurangi dua pertiga angka kematian anak balita, memerangi penyakit seperti HIV dan malaria, serta memperbaiki lingkungan hidup.


Capaian MDGs


Meski dicanangkan tahun 2000, target MDGs diukur dari keadaan tahun 1990. Secara umum dapat dikatakan pelaksanaan MDGs memberi gambaran kontradiktif, menggembirakan sekaligus mencemaskan, pada tataran global, regional/subregional maupun nasional.


Secara umum dapat dikatakan, semua kawasan ada dalam posisi on track, meski kawasan Asia Timur dan Tenggara mengalami kemajuan lebih pesat dibanding kawasan lain, terutama Afrika Sub-Sahara yang amat lambat.


Berdasarkan United Nations MDGs Report 2006, pada tataran global, ada penurunan angka extreme poverty di negara berkembang dari 27,9 persen (1,2 miliar orang) menjadi 19,4 persen. Namun, pada tataran regional/subregional terlihat gambaran berbeda. Selama 1990-2002, Asia Timur dan Asia Tenggara-Oceania bahkan menunjukkan penurunan luar biasa (dari 33,0 persen menjadi 14,1 persen, dan dari 19,6 persen menjadi 7,6 persen) bahkan sudah melewati target yang ditetapkan.
Di Afrika Sub-Sahara angka kemiskinan hanya turun sedikit, tetapi masih amat tinggi, yaitu dari 44,6 persen menjadi 44,0 persen dari target 23 persen, sementara jumlah penduduk yang hidup dalam kemiskinan ekstrem bertambah 140 juta.
Di Indonesia, krisis 1997 menjadi titik balik. Saat itu hampir di semua target mengalami kemunduran. Dalam Indonesia Progress Report on MDGs 2005 yang disampaikan Bappenas tercatat, penduduk miskin tahun 1990 berjumlah 15,1 persen dan cenderung menurun pada tahun-tahun berikut, justru meningkat tahun 1999 menjadi 23,4 persen.
Tahun 2004, angka ini ditekan menjadi 16,7 persen, tetapi masih tetap di atas angka tahun 1990. Selain itu, dalam laporan tripartit ESCAP-UNDP-ADB MDGs: Progress in Asia and the Pacific 2006, Indonesia dinilai memiliki rapor "merah" dalam target-target seperti tingkat kemiskinan, pendidikan dasar, dan pengelolaan lingkungan.
"Practicable", "achievable"
Meski diakui sebagai komprehensif, dari awal disadari, MDGs belum tentu realistis (practicable) untuk semua negara, terutama di Afrika. Menurut Michael Clemens dan Todd Moss dari Center for Global Development (CGD), banyak negara miskin tidak akan dapat mencapai MDGs bukan karena tidak berbuat apa-apa (inaction) atau tidak ada bantuan (aid). Kegagalan itu lebih disebabkan MDGs sendiri dinilai terlalu ambisius dan terlalu berlebihan ekspektasi terhadap aid yang justru amat berisiko.
Untuk mengurangi setengah kemiskinan, ekonomi Afrika harus tumbuh sekitar 7 persen per tahun dalam kurun 2000-2015. Menurut data CGD tahun 2004, hanya tujuh dari 153 negara yang telah mencapai hal ini dalam kurun waktu 15 tahun

http://www.targetmdgs.org.
selasa, 23/9/08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar