Selasa, 19 April 2011

paraji

Turun-temurun Membantu Persalinan

EVY RACHMAWATI

Suasana di Kampung Cipageran, Desa Cikondang, sekitar 80 kilometer arah selatan dari pusat kota Kabupaten Garut, Jawa Barat, tampak lengang. Debu beterbangan saat kendaraan bermotor melintasi jalan tanah yang membelah perkampungan cukup terpencil di daerah perbukitan itu.

Dari pintu belakang sebuah rumah berdinding bilik anyaman bambu di kampung itu, seorang perempuan berjalan tertatih-tatih menuju dapur dan merapikan peralatan masak yang terletak di dekat tungku. Tangan kanannya tampak mengempit sebatang rokok linting.

Tubuh kurusnya siang itu dibalut kebaya dan kain panjang yang telah memudar warnanya. Setelah membuang puntung rokok, perempuan yang akrab dipanggil Mak A’ah (60-an) tersebut menuju ruang utama bangunan yang dihuni bersama suami dan anaknya. Di ruangan itu hanya ada sejumlah perabot tua.

Ketika seorang perempuan yang tengah berbadan dua mendatangi rumahnya untuk dipijat, Mak A’ah bergegas mengambil selembar kerudung dan mengenakannya. Perempuan tersebut lalu menghamparkan selembar tikar di ruangan beralas papan itu. Sedikit minyak sayur dituangkan di atas piring kecil.

Sang tamu bernama Sinta (18) tersebut segera merebahkan diri di atas tikar. Kausnya dibuka sebagian sehingga terlihat perutnya yang buncit. Setelah diolesi minyak, bagian bawah perut perempuan berkulit kuning langsat itu mulai diurut. ”Usia kandungannya tiga bulan. Perkiraan saya ini biasanya sama dengan hasil pemeriksaan bidan,” ujar Mak A’ah yang berprofesi sebagai dukun bayi atau paraji ini.

Diwariskan

Menjadi paraji merupakan peran yang dijalankan secara turun-temurun di kalangan masyarakat pedesaan. Miming Badriah (47), paraji di Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut, misalnya, mengaku mewarisi kemampuan sebagai dukun beranak tersebut dari mertuanya. Setelah sering mendampingi mertuanya membantu persalinan, ia mulai praktik sebagai paraji sejak tujuh tahun lalu.

Hal serupa juga dialami Mak A’ah yang telah membantu ratusan persalinan di sekitar tempat tinggalnya sejak puluhan tahun silam. Semula ia hanya mendampingi neneknya yang juga seorang paraji. Setiap kali ada perempuan yang meminta dipijat saat hamil atau ingin ditolong saat melahirkan, ia akan ikut menemani sang nenek berjalan kaki menuju rumah warga yang butuh pertolongan.

Lambat laun ibu dari 12 anak— empat di antaranya meninggal dunia—itu mulai memberanikan diri membantu persalinan. Pertama kali praktik ia membantu proses kelahiran cucunya sendiri hingga akhirnya dikenal sebagai paraji di daerah tersebut. Untuk melayani persalinan, ia kerap harus naik-turun bukit menuju rumah ibu hamil, termasuk pada malam hari.

Demi menjalankan perannya sebagai paraji, Mak A’ah mengaku rajin berpuasa. Ia juga meracik sendiri ramuan tradisional untuk ibu hamil dan pascamelahirkan dengan bahan baku dari tanaman asli yang banyak ditemukan di daerah perbukitan itu. Tujuannya adalah agar ibu yang baru melahirkan tersebut segera pulih tenaganya.

Meski usianya telah senja, ia bertekad tetap menjalankan perannya sebagai paraji selama masih mampu melayani persalinan. Nenek dari Mak A’ah sendiri sampai harus ditandu ke rumah warga untuk membantu persalinan lantaran sudah tidak kuat lagi berjalan jauh dan terus beraktivitas sebagai paraji hingga menutup mata.

Dibutuhkan

Di tengah keterbatasan jumlah bidan dan tenaga kesehatan lain, keberadaan paraji sangat dirasakan manfaatnya oleh warga di daerah terpencil. Di sejumlah kampung di Desa Cikondang, Garut, misalnya, hampir seluruh bayi dilahirkan dengan bantuan paraji.

Hampir di tiap kampung ada lebih dari satu paraji yang siap dipanggil ke rumah warga untuk memijat ibu hamil, membantu persalinan, sampai memimpin upacara adat menyambut kelahiran bayi. Peran penting itu membuat keberadaan mereka telah berkembang jadi tokoh adat setempat yang dihormati.

Padahal, jika dilihat dari sisi ekonomi, uang yang diperoleh sebagai paraji hanya berkisar Rp 40.000 hingga Rp 60.000 setiap kali membantu persalinan sampai merawat bayi yang baru dilahirkan hingga berusia 40 hari. Bahkan ada yang hanya membayar Rp 15.000. Itu pun banyak yang mencicil pembayarannya.

Kondisi ini membuat masyarakat cenderung menggunakan jasa paraji dalam membantu persalinan. Sejumlah warga di daerah selatan Garut mengaku melahirkan anak-anak mereka dengan bantuan paraji meski rutin memeriksakan kehamilan pada bidan. Jika mengalami komplikasi seperti perdarahan, mereka baru minta pertolongan bidan.

Sinta (18), ibu hamil, juga mengaku berencana melahirkan dengan bantuan paraji atas anjuran suami dan orangtuanya. Sejak awal mengandung ia secara rutin memeriksakan kehamilan ke Mak A’ah yang bertetangga dengannya. ”Kalau perut terasa sakit, saya biasanya minta pijat ke Mak A’ah. Biasanya kalau sudah dipijat, tidak sakit lagi,” ujarnya.

Gakin ruwet

Hasil survei oleh Save The Children, organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam bidang kesehatan anak, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyebutkan, masyarakat pedesaan di daerah selatan Garut memilih dukun karena biayanya murah, bisa dicicil, tidak harus dengan uang, dan mengurus kartu keluarga miskin (gakin) yang ruwet.

Alasan lain adalah bidan lebih cepat meninggalkan ibu dan bayi dibandingkan dengan dukun bayi serta tidak memantau perkembangan bayi. Para kader posyandu juga menyatakan bidan sibuk dan buru-buru pergi setelah membantu persalinan, tak mengunjungi ibu dan bayi baru lahir yang ditolong dukun bayi, serta tidak memberi konseling. ”Hal ini membuat peran paraji sama dengan bidan,” ujar Tuti, koordinator Save The Children Garut.

Apalagi, warga di daerah terpencil sulit menjangkau tempat pelayanan kesehatan, termasuk pondok persalinan desa (polindes). Di Desa Cikondang, misalnya, ibu hamil yang hendak melahirkan di polindes harus naik ojek dengan tarif Rp 15.000 hingga Rp 40.000 sekali jalan. Mereka juga harus menempuh jalan tanah berliku.

Jika musim hujan tiba, jalan dari sejumlah kampung, seperti Cipageran, menuju polindes berlumpur sehingga sulit dilintasi kendaraan bermotor. Jalan satu-satunya adalah ibu hamil ditandu oleh warga secara bergantian selama sekitar satu jam ke polindes terdekat.

Masih kuatnya nilai-nilai tradisional dan sulitnya akses pelayanan kesehatan menyebabkan rendahnya cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan. Menurut data Dinas Kesehatan Garut tahun 2007, cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan baru 64,7 persen. Padahal, cakupan kunjungan ibu hamil sejak awal kehamilan hingga menjelang kelahiran ke tenaga kesehatan mencapai 85,97 persen.

Di selatan Garut, cakupannya relatif rendah. Di Kecamatan Cisompet, misalnya, cakupan persalinan ditolong tenaga kesehatan hanya 35,09 persen. Dari 1.080 ibu bersalin, hanya 379 orang yang ditolong tenaga kesehatan. Ibu umumnya hanya memeriksakan diri ke bidan pada trimester pertama kehamilan.

Kemitraan

Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Harni Koesno mengakui, peran dukun dalam membantu persalinan di berbagai daerah, terutama di lokasi terpencil, sulit dihilangkan di tengah keterbatasan jumlah bidan. Saat ini kebutuhan bidan di Indonesia lebih dari 200.000 orang, sedangkan jumlah bidan baru mencapai 104.000 orang.

Namun, pertolongan ibu bersalin bukan oleh tenaga kesehatan meningkatkan risiko kematian saat melahirkan. Hal itu karena para paraji kebanyakan masih memakai peralatan sederhana untuk membantu persalinan, seperti memotong tali pusat dengan pisau, silet, atau bambu.

Mereka tidak bisa menangani persalinan dengan komplikasi seperti perdarahan. Para dukun bayi juga kurang memahami tanda-tanda bahaya pada ibu bersalin dan bayi baru lahir sehingga bisa terlambat merujuk.

Untuk mengatasi masalah itu, sebagian bidan telah menjalin kemitraan dengan dukun bayi. Jika terjadi komplikasi seperti perdarahan, dukun akan segera merujuk ke bidan setempat. Dukun juga ikut membantu bidan saat menangani persalinan.

”Selain itu, perlu ada proses alih peran tanpa cara frontal karena dukun bayi juga berperan sebagai tokoh budaya. Biasanya calon paraji magang ke saudaranya yang jadi paraji karena itu kami mulai merekrut kerabat dukun untuk mengikuti pendidikan kebidanan,” kata Harni.

Sumber: Kompas Cetak, cetak.kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar