Rabu, 13 Oktober 2010

Beberapa pemikiran tentang pentingnya melibatkan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan

Istilah kekerasan terhadap perempuan membawa konotasi bahwa pelakunya bukan perempuan. Walaupun demikian, sebenarnya bukan semua pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah laki-laki. Pelaku kekerasan adalah mereka yang dalam relasi kekuasaan mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari korbannya. Keadaan ini menyebabkan korban tidak berdaya untuk melawan kekuasaan yang lebih besar. Sebagai contoh adalah kekerasan terhadap pekerja rumah tangga yang dilakukan oleh majikan perempuan atau kekerasan pada anak oleh orang tuanya atau orang yang lebih dewasa.


Di samping itu banyak informasi menyatakan bahwa sebenarnya laki-laki juga menjadi korban dari nilai dan norma sosial yang ada, di mana laki-laki dianggap sebagai “superman” yang bisa melakukan semua hal. Dalam banyak aspek, laki-laki dan perempuan mempunyai kondisi yang sama di mana laki-laki memerlukan bantuan manakala mereka menghadapi masalah. Namun laki-laki mempunyai situai yang berbeda, karena mereka dianggap super, maka banyak keengganan pada mereka untuk mencari penyelesaian masalah yang mereka alami. Selain itu pelayanan untuk mereka dalam masalah keluarga, masalah pribadi yang berdampak pada keluarga, masalah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sebagainya, masih sangat terbatas, atau tidak ada sama sekali. Banyak masalah yang sebenarnya dapat dicarikan jalan keluarnya, menjadi tidak pernah terselesaikan dan menjadi pemicu terjadinya kekerasan.
Di dalam kehidupan sehari-hari, banyak laki-laki berperan di bidang publik dan pengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan penghapusan kekerasan, maka jika mereka mempunyai pemahaman yang baik tentang kekerasan terhadap perempuan, maka mereka dapat berperan secara signifikan.  Di dalam keluarga, dibanyak masyarakat, seorang ayah masih menjadi acuan dan role model untuk anak laki-laki dalam keluarga. Selain itu juga menjadi referensi dan penentu untuk keputusan terhadap anak perempuan. Perubahan nilai patriarki di dalam masyarakat, jika dikaitkan dengan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, memerlukan upaya tertentu, dan tidak selalu mudah serta memakan waktu. Dalam perkembangan masyarakat saat ini, memang sudah ada perubahan nilai patriarki ke arah kesetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, namun masih terbatas. Nilai dalam masyarakat  tentang bagaimana laki-laki seharusnya, masih sangat kuat, sehingga jika ingin dibangun nilai baru, pandangan tentang “laki-laki baru” yang non-violence, dibutuhkan upaya yang ilmiah, sistematik dan berkesinambungan.
Di banyak negara termasuk Indonesia, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang mempunyai dampak yang luas. Dari aspek ekonomi, pengeluaran sia-sia di sektor kesehatan masyarakat saja, sangat besar. Belum pernah dihitung, namun referensi dari beberapa negara seperti Kanada, Brazil dan Australia, jumlahnya antara 3-5 milyar dolar setiap tahun. Karena kekerasan juga melanggar hak asasi dan memberikan kerugian dibanyak aspek , maka pelibatan laki-laki akan sangat bermakna dalam penghapusan kekerasan itu.
Beberapa pemikiran tentang pentingnya pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan
Jika kita lihat peran laki-laki secara umum dalam kehidupan sehari-hari, maka beberapa hal di bawah ini dapat dicatat sebagi pemikiran di dalam pelibatan laki-laki untuk penghapusan kekerasan.
1.    Laki-laki sebagai pelaku kekerasan tehadap perempuan
Dari statistik yang di dapat dari hasil Susenas 2006, terlihat bahwa 70% pelaku kekerasan fisik terhadap perempuan adalah laki-laki. Demikian pula pada kekerasan lainnya seperti pemerkosaan, penelantaran dan  pelarangan bekerja serta kekerasan ekonomi lainnya berkisar antara 60-80%. Dari angka ini terlihat bahwa laki-laki sebagai pelaku kekerasan sangat dominan.
2.    Laki-laki masih dianggap berkedudukan lebih tinggi
Nilai patirarki yang ada di masyarakat masih menjadi referensi masalah relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam nilai patriarki, laki-laki ditempatkan lebih tinggi dari perempuan dalam banyak aspek kehidupan. Perempuan sering dianggap sebagai sub-ordinat laki-laki dan masih sering dimarjinalkan. Dengan demikian, laki-laki dituntut untuk menjadi manusia super yang bisa mengatasi semua masalah, padahal dalam perubahan jaman, laki-laki juga mengalami keterbatasan-keterbatasan yang semakin terlihat. Namun demikian belum ada konsep yang ditawarkan pada kehidupan masyarakat secara efektif, bagaimana nilai patriarki yang cocok untuk saat ini. Belum ada upaya social engineering untuk hal itu. Walaupun sudah dirasakan perlu adanya perubahan, namun siapa dan bagaimana perubahan itu akan dilakukan, sehingga ada nilai baru yang lebih cocok dengan situasi dan kondisi masa kini.
3.    Laki-laki sebagai korban kekerasan
Banyak pihak menganggap bahwa laki-laki bukan hanya sebagai pelaku kekerasan, namun juga sebagai korban. Meraka adalah korban dari nilai dan norma dalam masyarakat, dimana mereka harus mengekspresikan diri menjadi laki-laki menurut nilai patriarki yang ada, sehingga mereka melakukan perbuatan untuk tetap berada pada posisi itu, walaupun tidak sesuai dengan kondisi mereka. Jumlah laki-laki yang tercatat sebagai korban kekerasan yang sebenarnya, kecil dibandingkan dengan sebagai pelaku. Apakah hal ini karena adanya pandangan yang bias terhadap laki-laki, masih harus diteliti lebh jauh. Karena posisi yang harus dipertahankan menurut nilai patriarki, maka bukan tidak mungkin bahwa banyak laki-laki korban kekerasan yang tidak melaporkan dirinya sebagai korban, karena jika melaporkan, maka hal itu akan berpengaruh pada jati dirinya sebagai laki-laki menurut milai patriarki yang ada.
4.    Laki-laki sebagai kelompok yang diam atau pemberi restu pada terjadinya kekerasan terhadap perempuan
Banyak laki-laki belum memainkan peran dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Apakah ini karena keengganan mereka, karena mereka diberi label sebagai pelaku kekerasan, atau adanya rasa solidaritas semu sebagai sesama laki-laki, atau juga tidak peduli dan tidak tahu harus berbuat apa. Dalam banyak hal, karena mereka berdiam diri, maka secara langsung atau tidak, merupakan pula pemberi restu. Kelompok yang sementara ini berdiam diri, tentunya berpotensi untuk berkontribusi dalam memperbaiki keadaan. Cercaan yang sering terdengar, dapat pula menjadikan laki-laki membangun mekanisme pertahanan diri, sehingga perlu dicari cara yang baik untuk menjadikan mereka kelompok pembela terhadap perlakuan kekerasan terhadap siapapun.
5.    Laki-laki sebagai Kepala Rumah Tangga
Data dari berbagai survey menunjukkan bahwa sebagian besar Kepala Rumah Tangga (87%) adalah laki-laki. Sebagai Kepala Rumah Tangga tentunya mereka dapat mewarnai corak kehidupan keluarga, menentukan bagaimana perilaku anggota keluarga dan juga menentukan bagaimana nantinya anak-anak mereka di masa depan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan juga disebutkan bahwa laki-laki adalah Kepala Keluarga. Hal ini terbawa sampai ke masalah yang menyangkut urusan publik, seperti Dewan Kelurahan dan legalitas untuk urusan yang berkaitan dengan hak dan hukum. Dilihat dari posisi mereka sebagai Kepala Keluarga, laki-laki mempunyai potensi yang besar untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. Oleh sebab itu, perlu menjadi pemikiran, bagaimana peran laki-laki sebagai Kepala Keuarga dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
6.    Laki-laki sebagai pembuat keputusan
Sebagian besar pembuat keputusan publik adalah laki-laki. Di bidang manapun, laki-laki masih dominan sebagai pembuat keputusan publik. Upaya untuk meningkatkan sensitifitas laki-laki terhadap masalah yang dihadapi perempuan dalam pengambilan keputusan sudah banyak dilakukan, dan agar dampaknya lebih luas lagi, maka upaya yang ada harus dilakukan secara berkesinambungan. Membangun sensitifitas dan pemahaman tentang isu perempuan sudah terbukti memberikan hasil yang positip. Jika laki-laki mempunyai sensitifitas yang baik, maka keputusan yang dibuat akan lebih adil. Di dalam penanggulangan kekerasan terhadap perempuan,  di banyak instansi penanggung-jawabnya adalah laki-laki. Dalam banyak hal, walaupun adanya tuntutan fungsi dan tugas, namun proses sensitisasi menjadi lebih baik dan lebih  cepat. Masih banyak pula laki-laki yang berperan dalam organisasi masyarakat yang menentukan corak kehidupan masyarakat. Mereka berpotensi untuk menjadikan corak kehidupan yang berpihak pada perempuan. Bentuk pendekatan untuk menanamkan sensitifitas tentang kesetaraan dan keadilan untuk laki-laki dan perempuan memang perlu dikembangkan lebih jauh. 

7.    Peran pendidikan (Patron bagi anak laki-laki)
Dengan situasi sosial budaya yang ada, ayah masih menjadi model untuk anak laki-laki. Ayah menjadi contoh bagaimana anak laki-laki nantinya akan menjadi seperti apa. Dalam banyak pendidikan untuk anak, dan dalam banyak bentuk pengembangan diri anak laki-laki, ayah masih menjadi model. Ayah kemudian menjadi penting untuk menanamkan berbagai nilai bagi perkembangan jiwa anak. Pendekatan melalui ayah akan dapat memberikan dampak yang signifikan pada pembentukan jiwa anak.

8.    Laki-laki sebagai nara sumber bagi peer group mereka
Dalam banyak hal, laki-laki akan lebih mudah berkomunikasi dengan sesama laki-laki. Hal ini dapat terlihat pada kelompok-kelompok remaja, maupun kelompok-kelompok seminat laki-laki dewasa. Dengan demikian mengembangkan critical mass laki-laki sebagai nara sumber untuk kelompok mereka akan dapat menjadikan mereka sebagai sumber informasi dan sumber dalam menanamkan pemahaman untuk hal-hal yang berkaitan dengan diri mereka.

Dari beberapa hal tentang laki-laki yang dikemukakan di atas, maka dapat dilihat pendekatan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peran laki-laki dalam penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan membangun nilai-nilai baru yang non-violence. Dalam matriks berikut dapat dilihat beberapa  gagasan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya meningkatkan keterlibatan dan peran laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.


Situasi laki-laki dan pendekatan yang dapat dipertimbangkan
Situasi laki-laki
Pendekatan yang dapat dilakukan
Bentuk program yang dapat dikembangkan
1.    Laki-laki sebagai pelaku kekerasan
·         Memberikan pemahaman baru tentang kekerasan terhadap sesama dan terhadap perempuan
·         Memberi jalan keluar dari persoalan yang menjadi pemicu kekerasan
·         Mengubah perilaku
·       Program konseling bagi pelaku
·       Program konseling keluarga
·       Pengembangan dan perluasan program pendidikan keluarga yang cinta damai dan menghargai sesama
2.    Nilai patriarki
·         Mencari bentuk baru dari nilai patriarki karena tidak semua nilai patriarki buruk
·         Membangun image “laki-laki baru” yang lebih adil terhadap perempuan
·         Membentuk pandangan baru yang juga tidak bias pada laki-laki sebagai pelaku
·       Kajian-kajian tentang laki-laki, masalah yang dihadapi dan bagaimana jalan keluar yang dapat diterima
·       Social engineering  untuk mengubah paradigma relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan
3.    Laki-laki sebagai korban kekerasan
Perubahan pelabelan
Perubahan nilai bahwa laki-laki bukan Manusia super
Idem
4.    Laki-laki sebagai pemberi restu kekerasan terhadap perempuan
·      Membangun pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan
·      Memberi pemahaman tentang peran yang dapat dilakukan laki-laki
·      Penyuluhan
·      Mengembangkan cara-cara untuk melibatkan laki-laki dalam penanggulangan kekerasan terhadap perempuan
5.    Laki-laki sebagai Kepala rumah tangga
·      Memberikan pemahaman yang baik tentang peran dan tanggung jawab sebagai Kepala rumah tangga
·      Memberikan pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan dan dampaknya bagi anggota keluarga


·      Pengembangan dan intensifikasi pendidikan pra nikah
·      Mengembangkan pelayanan konseling keluarga

6.    Laki-laki sebagai pembuat keputusan
·      Peningkatan pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan
·      Peningkatan exposure pada situasi dan kondisi perempuan yang dikaitkan dengan tanggung jawab di bidang masing-masing

Pengarusutamaan Gender
7.    Ayah sebagai model dalam pengembangan jiwa anak
Penanaman nilai-nilai budaya damai dan saling menghormati serta multi kulturalisme
·      Model pendidikan bagi ayah sebagai model dan acuan bagi pengembangan jiwa anak
·      Pendidikan bagi ayah dan calon ayah
8.    Laki-laki sebagai nara sumber untuk peer group
Penanaman nilai-nilai budaya damai, kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan
·      Pendidikan bagi laki-laki tentang kesetaraan dan keadilan bagi laki-laki dan perempuan
·      Pengembangan diskusi kelompok pada kelompok-kelompok laki-laki remaja dan dewasa

Di samping hal-hal di atas, tentunya dengan merujuk pada pengalaman berbagai negara yang sudah melakukan upaya untuk melibatkan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan, tentunya harus dikembangkan lebih dahulu kebijakan pokok yang selanjutnya dapat diuraikan menjadi bentuk-bentuk program dan kegiatan.  Secara umum, dilihat dari situasi dan kondisi yang ada di masyarakat, memang laki-laki sudah harus ditingkatkan perannya dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Penutup
Hal yang sangat penting yang harus tetap dipegang dalam upaya ini adalah bahwa pengembangan peran dan pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan harus berada di bawah kebijakan penghapusan kekerasan yang sudah ada. Tidaklah bijaksana jika kemudian peran ini menjadi berlebihan yang akhirnya menempatkan kembali laki-laki sebagai sosok yang dominan yang dalam situasi seperti saat ini akan menjadikan upaya ini tidak berhasil atau semuanya diwarnai oleh persepsi nilai patriarki yang tidak akan berubah dalam waktu yang singkat.
Disampaikan Oleh Heru P. Kasidi pada Seminar “Keterlibatan laki-laki sebagai mitra dalam menghentikan kekerasan dalam rumah tangga: Peran kaum laki-laki intelektual” 
(sumber menegpp.go.id )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar