Rabu, 13 Oktober 2010

DISKRIMINASI PEREMPUAN

Ketatanegaraan Yang Ada Tak Mampu Atasi Diskriminasi

discrimination_silenced
[KOMNASPEREMPUAN] ~ Kehadiran kebijakan daerah yang diskriminatif menyebabkan Indonesia semakin jauh dari cita-cita negara bangsanya untuk menghadirkan kesejahteraan, keadilan dan kebhinekaan bagi semua. Sebanyak 154 kebijakan daerah yang diterbitkan di tingkat provinsi (19 kebijakan), tingkat kabupaten/kota (134 kebijakan) dan di tingkat desa (1 kebijakan) antara tahun 1999 hingga 2009 menjadi sarana pelembagaan diskriminasi, baik dari tujuannya maupun sebagai dampaknya. Demikian hasil pemantauan Komisi Nasional Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terhadap pemenuhan hak konstitusional perempuan Indonesia di era otonomi daerah yang dilaporkan ke publik pada 23 Maret 2009 di Jakarta.
Kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif tersebut diterbitkan di 69 kabupaten/kota di 21 provinsi. Lebih dari setengah kebijakan daerah yang diskriminatif (80 kebijakan) diterbitkan nyaris secara serentak, yaitu antara tahun 2003 dan 2005. Jawa Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Timur adalah enam provinsi yang kabupatennya paling gemar menerbitkan kebijakan daerah yang diskriminatif. Hanya ada 23 kebijakan daerah di tingkat provinsi (4 kebijakan), kabupaten/kota (16 kebijakan) dan desa (3 kebijakan) yang bertujuan memenuhi hak korban atas pemulihan.
Pelucutan Hak-hak Asasi Manusia Perempuan

Dari 154 kebijakan daerah yang diskriminatif tersebut, sebanyak 64 kebijakan secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 kebijakan yang mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalisasi perempuan (37 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi dan 1 kebijakan tentang larangan khalwat), dan pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan (4 kebijakan tentang buruh migran).
Selebihnya, 82 kebijakan daerah mengatur tentang agama yang sesungguhnya merupakan kewenangan pusat dan telah berdampak pada pembatasan kebebasan tiap warga negara untuk beribadat menurut keyakinannya dan mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas.
Sembilan kebijakan lainnya merupakan pembatasan atas kebebasan memeluk agama bagi kelompok Ahmadiyah. Semua hak-hak yang dibatasi atau dikurangi ini merupakan hak-hak konstitusional yang dijamin bagi setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali, terutama hak atas:
(a) kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan,
(b) kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani,
(c) penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,
(d) perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, dan
(e) bebas dari perlakuan diskriminatif.
Lahir Dari Demokrasi Prosedural
Kebijakan yang diskriminatif lahir dari praktik pengutamaan demokrasi prosedural. Praktik ini mengandung unsur politik pencitraan, mengakibatkan pembatasan partisipasi publik, menyerahkan ruang demokrasi untuk “kehendak mayoritas”, serta berjalan selaras dengan peniadaan perlindungan substantif, praktik korupsi dan penyalahgunaan kewenangan, serta pengaburan batas antara negara dan agama moralitas. Seluruh kecenderungan defisit demokrasi ini mengarahkan Indonesia pada kondisi kritis dengan mempertaruhkan bangunan negara-bangsa Indonesia.
Pengaturan yang sia-sia dalam kebijakan daerah tentang busana, kasus salah tangkap akibat kriminalisasi terhadap perempuan lewat kebijakan daerah tentang prostitusi dan khalwat, pembiaran aksi “polisi moral” dan kehadiran kebijakan yang tidak efektif untuk menjawab persoalan prostitusi dan buruh migran, telah mengikis kewibawaan dan kepastian hukum.
Persoalan-persoalan akibat kehadiran kebijakan daerah yang diskriminatif belum dapat diatasi oleh sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini. Departemen Dalam Negeri dan Mahkamah Agung belum menunjukkan kepemimpinan dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Sementara itu, Makhamah Konstitusi tidak dapat menyentuh kebijakan daerah yang melanggar konstitusi.
20 Rekomendasi Untuk Atasi Diskriminasi
Atas dasar temuan-temuan di atas, Komnas Perempuan mengajukan 20 rekomendasi, antara lain kepada:
1. Presiden RI terpilih agar segera membatalkan demi hukum semua kebijakan daerah yang diskriminatif dan melanggar hak-hak asasi warga negara, sebagaimana dialami oleh perempuan dan golongan minoritas, atas dasar tanggung jawab negara untuk pemenuhan HAM
2. Ketua Mahkamah Agung agar meningkatkan daya tanggap Mahkamah Agung terhadap permohonan-permohonan uji materil dari masyarakat terkait perda-perda diskriminatif dan, demi hukum, batalkan semua perda yang diskriminatif dalam maksud ataupun dampak.
3. MPR agar menyelenggarakan amandemen UUD Negara RI 1945 untuk menyempurnakan mekanisme nasional yang efektif menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional bagi setiap warga negara tanpa kecuali, termasuk dengan memperluas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji konstitusional materi perundang-undangan agar sampai ke tingkat terendah di bawah UU dan memberi kewenangan baru bagi MK untuk menciptakan mekanisme constitutional complaint yang dapat diakses oleh setiap warga negara.
4. DPR RI hasil Pemilu 2009 agar melakukan amandemen terhadap berbagai produk Undang-Undang yang kondusif bagi pembentukan perda-perda yang diskriminatif dan bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusional.
5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia agar meningkatkan efektifitas mekanisme HAM nasional dalam menangani segala bentuk diskriminasi yang dialami masyarakat sebagai pelanggaran HAM.
6. Organisasi-organisasi masyarakat sipil agar meningkatkan kualitas dan cakupan pendidikan politik - termasuk pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah - dengan fokus pada jaminan-jaminan konstitusional dan untuk membangun resiliensi masyarakat terhadap bahaya politisasi identitas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar